Pohon kersen

Entah apa pengerjaan yang benar, kersen ataukah garsen. Aku sempat beradu mulut dengan temanku hanya karena urusan pengejaan ini. Ya . Saat masih kecil tentunya. Apalagi ejaan pohon ini blm sempat masuk buku pelajaran sekolah dasar. Knp gak nyari di internet aja? Jamanku berbeda dengan jamanmu. Kami masih punya keterbatasan mengakses informasi. Pengetahuan biasa kita dapatkan dari sekolah maupun buku perpustakaan daerah. Koranpun langka. Bapakku tidak langganan kayaknya figur bapak yg ditayangkan di TV, yang tiap pagi membaca koran sambil menyesap kopi.  Karena biasanya tiap pagi bapak mengedarkan tempe ke pasar maupun pelanggan setianya. Kembali lagi ke pohon kersen, entah bagaimana ceritanya tiap melihat pohon ini  selalu teringat akan masa kecil. Selalu. Saat dimana aku mulai belajar memanjat pohon. Berharap punya tinggi cukup agar tidak usah memakai galah untuk mengambil buahnya. Atau ketika leher terlalu pegal untuk menengadah. Saat kecil rasanya mendapatkan buah di pohon ini sangatlah berfaedah. Terakhir melihat pohon ini di waduk Undip. Kemarin. Ternyata pohon ini tak setinggi saat kecil dulu. Masih dapat kujangkau dengan berjinjit ataupun dengan menangkap salah satu dahan. Sayangnya tak ada buah matang disana. Yasudah kumulai berlari di sekitar waduk. Kau tahu? SebeneaSeb dari dulu ada yg ingin kutulis tentang berlari. Tentang mengatur napas. Jantung yang berdebar. Dan kekuatan pikiran. Yang pertama terasa nyeri tiap berlari sellau dadaku. Sesak rasanya. Butuh banyak oksigen sepertinya. Masih dengan berlari yang pernah kutargetkan bisa mencapai 10 putaran di stadion Undip belum saja tercapai. Entahlah. Sebenarnya di putaran ke empat kakiku masih bisa berlari. Masih kuat. Tapi saat pikiran menjadi ragu, dan memilih berhenti. Saraf ini sepersekian detik menyetujui. Kaki berhenti . VLari selesai. Sebegitu pengaruhnya kekuatan pikiran yang kurasakan. Bagaimana pikiran negatif dan positif berseliweran ketika berlari. Terakhir kemarin kusadari kenapa aku mudah menyerah saat berlari. Karena targetku terllau keculy kurasa. Masih kuingat saat di waduk. Saat aku melihat ke arah tower yg lumayan jauh dari waduk langkahku terasa enteng. Berbeda dengan portal yang tertutup di ujung waduk yang membiarkan napasku sesak ketika berlari. Apa karena kita terlalu mudah puas? Ini menurutku.
Sama halnya ketika kita naik gunung kan. Disaat dimana kita berpikir berhantu disamakan kita berada. Kita gak bakalan sampe puncak jika udah memikirkan yang nggak nggak duluan. Jadi filosofi yang kudapat bagaimana kita memilih target hidup, seberapa jauh atau seberapa banyak keinginan yang ingin dicapai.
Itulah mengapa standar sukses tiap orang orang berbeda.  Itulah mengapa aku gak pernah setuju kenapa setelah lulus banyak yg memikirkan pernikahan. Toh hidup kita berbeda. Ya silahkan saja. Tapi bagi yang memberiku saran seperti itu aku cuma tersenyum 3 detik. Okee banyak hal yang ingin kucapai sebelum hal itu terjadi. Jadiiii yaaaaa. Sampai sini aja aku nulisnya .Rasanya gak nyambung dengan judul awal. Tadinya mau buat beberapa pos. Tapi akhirnya malah digabung gini. Karena terlalu susah mencari ending yang tepat.

Semarang, Juli 18
Xoxo

  1. Wagure







Powered by Blogger.